(Makalah) Analisis Fenomena DPR Tandingan dikaji beberapa sudut pandang.

DIpersembakan oleh :

Muhammad Basofi Ilyas (mahasiswa Prodi PPKn Unesa semester 5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1  LATAR BELAKANG

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Berawal dari kemenangan Negara-negara Sekutu (Eropa Barat dan Amerika Serikat) terhadap Negara-negara Axis (Jerman, Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul kemudian dengan keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.

Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia ad­­­­alah negara yang paling terbaik menjalankan demokrasinya, mungkin kita bisa merasa bangga dengan keadaan itu.Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya.

Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat keberadaan lembaga perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Adalah tidak mungkin membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa kehadiran institusi tersebut. Karena lewat lembaga inilah kepentingan rakyat tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai dengan aspirasi rakyat. Untuk mengetahui apa itu Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat secara mendalam.

Namun Perjalan penuh liku Dewan Perwakilan Rakyat tentu tak semulus apa yang dicita citakan. Selalu ada rintangan yang menghadang yang berlatar belakang politik selalu menyertai. Akhir akhir ini kita bisa melihat adanya dualisme DPR yang terjadi di negeri ini. Ini tak luput dari kemelut hasil Pilpres yang telah berakhir dan membawa gelombang pergolakan politik di tanah air. Lahirnya DPR “Tandingan” menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh bangsa. Oleh sebab itu penulis ini menganalisis fenomena lahirnya DPR Tandingan dalam makalah ini.

1.2  RUMUSAN MAKALAH

  1. Bagaimana awal terbentukan DPR Tandingan?
  2. Apakah DPR tandingan melawan konstitusi?
  3. Dampak apayang dihasilkan dari adanya DPR tandingan?

1.3  TUJUAN

  1. Untuk mengetahui bagaimana awal munculnya dualisme DPR sehingga mengakibatkan terbentukan DPR Tandingan
  2. Untuk mengetahui Dasar Hukum yang digunakan DPR tandingan.
  3. Untuk mengetahui dampak apa yang dihasilkan dari adanya DPR tandingan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dari segi jangka panjang dan jangka pendek.

BAB II KAJIAN TEORI

 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesiaatau sering disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR) adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum yang dilaksanakan 5 tahun sekali.

 

  • Fungsi DPR. DPR mempunyai fungsi ; legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat.

Legislasi :Fungsi Legislasi dilaksanakan untuk membentuk undang-undang bersama presiden.

Anggaran :Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden

Pengawasan :Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN

  • KIH adalah Koalisi Indonesia hebat yang merupakan koalisi pendukung Jokowi – JK ketika pemilihan Presiden. Koalisi ini berisi Partai PDI (18,95%), Partai Kebangkitan Bangsa (9,04%), partai Hanura (5,26%), Partai Nasdem (6,72%) dan partai PKPI (0.91%).
  • KMP adalah Koalisi Merah putih yang merupakan gabungan partai pendukung Prabowo dan Hatta yang maju sebagai calon presiden. KMP berisi Partai Gerindra (11,81%), Partai Golkar (14,75%), Partai PKS (6,79%), Partai Demokrat (10,19%), Partai PAN (7,57%), Partai PPP(6,53%), Partai PBB (1,46%)

 

BAB III PEMBAHASAN

3.1     AWAL MULA TERBENTUKAN DPR TANDINGAN

Sedkit menguak fakta di balik munculnya fenomena DPR Tandingan sesungguhnya cukup menarik dan juga rumit karena untuk mengkaji dan menganalisi fenomena pertama di Negeri Indonesia ini setidaknya ada beberapa perspektif yang dapat kita gunakan. Kita akan mencoba menganalisis factor dan mengapa lahir dualisme DPR di Negara ini.

Pertama, apa motif sebenarnya di balik kemunculannya. Sebagai respon terhadap “gerakan sapu bersihnya seluruh pimpinan dan alat kelengkapan DPR oleh KMP” Atau sebagaimana diungkap oleh Andi Arif -mantan jubir presiden- sebagai skenario pemakzulan Jokowi dari kalangan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) sendiri. Karena jika Presiden memusuhi Dewan Rakyat maka akan dapat dimakzulkan, namun pada akhirnya Jokowi tak terpancing untuk mendukungnya. Bahkan sebaliknya, Belakangan ini terlihat Jokowi dan JK menolak keberadaan DPR Tandingan versi koalisi yang mengusungnya sendiri itu.

Kedua, pro kontra DPR Tandingan dengan basis pledoi sesuai dengan masing-masing kepentingan politiknya adalah salah satu indikator sistem parlemen yang sarat dengan kepentingan tarik ulur kekuasaan. Di mana DPR KMP membuat alat kelengkapan dewan yang di isi oleh partai pendukung KMP tanpa mengisakan kursi untuk KIH. Sebuah keniscayaan dalam konteks kekuasaan demokrasi. Pengamat pun terbelah ada yang menyampaikan sah-sah saja. Ada juga yang menyatakan inkonstitusional.

Jika dicermati secara jeli maka fenomena DPR Tandingan mencerminkan fakta-fakta politik sebagai berikut :

Pertama, Dominasi pimpinan dan alat kelengkapan DPR oleh KMP menimbulkan reaksi counter of politic dari KIH dengan mensinyalir adanya dugaan “hidden agenda” di balik dominasi KMP. Dengan kata lain lahirnya DRP tandingan merupakan bentuk protes dari KIH karena tidak memiliki kursi dalam struktur DPR

Kedua, Pasca Pilpres yang dimenangkan oleh KIH. KMP menjadi sakit hati yang pertarungan politiknya diteruskan di pentas DPR yang akhirnya dimenangkan secara telak oleh KMP.

Ketiga, Kedua fakta politik di atas menunjukkan bahwa eksekutif (presiden wakil presiden dengan kabinet yang dibentuknya) dan legislatif adalah 2 pilar penting yang menopang sistem demokrasi. Penguasaan atas dua badan tersebut menunjukkan kendali terhadap kekuasaan demokrasi di negeri ini. Sekalipun pada faktanya kekuasaan demokrasi dishare juga dengan alat kelengkapan negara yang lain seperti KPK, MK, Jaksa Agung, MA dan lain-lain. Tetapi sesungguhnya gelanggang utama pertarungan politiknya tetap ada pada kedua badan legislatif dan eksekutif.

Keempat, Skenario politik maupun rekayasa politik menjadi keniscayaan yang senantiasa melingkupi fakta politik demokrasi. Tidak ada fakta politik yang tulus benar-benar murni menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani rakyat. Melainkan yang ada dan dominan nampak di permukaan adalah atas nama tujuan melayani rakyat sebagai jalan memperoleh kekuasaan untuk kepentingan kelompok. Sistem koalisi antar parpol yang dibangun baik KIH maupun KMP dipenuhi dengan semangat dan syahwat politik kekuasaan.

Benar adanya sebuah statement yang dilontarkan oleh seorang pakar hukum tata negara yang tidak mau disebut namanya. Bahwa para politisi itu jika sudah masuk ke gelanggang legislatif DPR maka baju parpolnya akan dilepas semua diganti dengan baju kepentingan komisi proyek. Sementara kepentingan politik koalisi parpol pemenang pilpres akan mendominasi seluruh struktur kabinet meski mau disebut dengan nama apapun.

Secara sederhana yang nampak sekarang adalah KMP mendominasi rekayasa politik DPR. Dan KIH mendominasi rekayasa politik Kabinet. Seberapa jauh rekayasa politik antar koalisi itu didedikasikan untuk kepentingan rakyat. Sangat tergantung pada basis ideologi negara apa yang dipakai acuan. Sistem politik dan sistem ekonomi apa sebagai pilar penting penentu kebijakan negara yang diterapkan di atas basis ideologi negara. Sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis liberalis adalah sistem yang dibangun di atas bangunan ideologi negara kapitalis sekuler. Indonesia secara faktual dalam banyak kebijakan negara mengadopsi sistem ini. Perdebatan politik oleh para politisi maupun pengambil kebijakan negara kemudian hanyalah di seputar persoalan siapa memperoleh apa dengan cara apa.

Bukan bagaimana seharusnya kebijakan negara diterapkan sesuai dengan aturan dari Yang Maha Kuasa untuk kemaslahatan manusia. Dalam kondisi seperti itu maka proses politik baik di tubuh parlemen maupun kabinet niscaya akan sarat dengan kepentingan politik para politisi, penguasa dan pemilik modal yang memback upnya. Sampai kapan kondisi ini terus berjalan.

Sampai bangsa ini sadar tentang pentingnya pergolakan (revolusi) bukan saja sebuah revolusi mental an sich. Melainkan pergolakan (revolusi) komprehensif mencakup pergolakan pemikiran, politik dan pergolakan militer sebagai mekanisme perubahan masyarakat sepanjang sejarah. Dan perubahan masyarakat yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW tidak bisa dipisahkan dengan substansi ajaran Islam mencakup syariah, dakwah, aqidah, jihad dan khilafah.

Alergi terhadap pergolakan (revolusi) hanya akan membuat kejumudan gerakan. Atau penumpulan gerakan dari sebuah entitas dakwah yang berpotensi menjadi pressure group menjadi sebuah entitas intelektual yang berkembang dari wacana ke wacana.

3.2     DASAR HUKUM PEMBENTUKAN DPR TANDINGAN.

Jika kita mengkaji dari Hukum Tata Negara  sebagai landasan normatif, dalam arti segala ihwal peristiwa ketatanegaraan harus jelas landasan hukumnya, tidak boleh mengalami kerancuan, ambigu, bias, apalagi multitafsir. Oleh karena itu, dalam menelaah konstitusional atau tidaknya pimpinan DPR tandingan yang ‘digawangi” oleh KIH, berarti harus jelas acuan dan landasan hukumnya.

Pada sesunggunya in casu pimpinan DPR tandingan yang telah terbentuk saat ini di Senayan tidak konstitusional dengan bersandar pada empat alasan.

Pertama, KIH dalam rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR sudah mengakui terpilihnya pimpinan DPR sebelumnya. Meskipun pada waktu itu seluruh fraksi yang mengatasnamakan diri KIH Walk Out (WO), tetapi WO-nya KIH di sini harus dimaknai telah mengakui seluruh pimpinan DPR yang berasal dari KMP, yang pada dasarnya terpilih secara aklamasi. Oleh karena untuk mengajukan calon pimpinan DPR harus memenuhi syarat lima fraksi yang mengajukan, dan KIH memang minus satu fraksi pada waktu itu, hanya memiliki empat fraksi. Maka logika konstitusinya, hanyalah pimpinan DPR yang sudah dipilih bersama tersebutlah yang konstitusional, sementara DPR tandingan murni inkonstitusional.

Kedua, dasar pembentukan DPR tandingan karena karena mosi tidak percaya pada pimpinan DPR sebelumnya, juga dapat dikatakan sebagai legal reasoning yang sesat, keliru, bahkan tidak berdasar. Sebab dasar hukum mengajukan mosi tidak percaya dalam praktik kebiasaan hukum ketatanegaraan, untuk mengajukan mosi tidak percaya terhadap sebuah lembaga, terlebih dahulu lembaga itu telah melakukan kelalaian atau penyimpangan dari tanggung jawabnya.

Sekarang, bagaimana mungkin ada tuntutan pertanggungjawaban, sementara anggota DPR yang memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan belum juga berjalan, bahkan alat kelengkapan dewan saja belum juga terbentuk.

Ketiga, jika kita membuka dan  menelusuri dasar hukumnya, baik dalam UUD NRI 1945 sampai peraturan di bawahnya, terutama UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Satupun tidak ada pasal/ketentuan yang membuka “pintu tafsir” bagi anggota DPR maupun sekumpulan fraksi, kiranya dapat mengajukan mosi tidak percaya seputar masalah internalnya. Yang nyata-nyata ada, bahwa setiap anggota DPR dalam menjalankan setiap fungsi-fungsinya, ketika diantara mereka “sulit mendapatkan titik temu”, maka harus menyelesaikannya dengan cara musyawarah mufakat. Dan kalau musyawarah mufakat tidak tercapai, maka berlanjut dengan sistemvoting.  Oleh karena itu, tindakan mosi tidak percaya yang dilakukan oleh KIH adalah tidak jelas landasan hukumnya. Sehingga benarlah, kalau tindakan itu dikatakan lagi-lagi inkonstitusional.

Keempat, terkait adanya kecurigaan dan ketakutan dari KIH jika semua posisi strategis “disapu bersih, dibabat habis” oleh KMP kelak, akan menghambat kinerja Presiden bersama dengan Menterinya. Lagi-lagi argumentasi hukum tersebut bukan bagian dari ‘legal isue” hukum ketatanegaraan. Ingat! Hukum itu selalu berada dalam kepastian, bukan kecurigaan, bukan ketakutan, apalagi mewakili perasaan, bukan itu. Justru dalam hemat penulis, dengan deadlock-nya DPR dalam situasi sekarang, malah akan menghabat kinerja pemerintahan Jokowi-JK (bahkan tidak menutup kemungkinan pemerintahan akan mengalamai shutdown). Sebab bagaimana mungkin fungsi check and balance dua organ kekuasaan, DPR dan Presiden dapat menjalankan segala fungsinya, kalau DPR tidak pernah solid untuk menjalankan segala tugas dan kewenangannya, alih-alih sebab musababnya perburuan “kue” kekuasaan saja.

Pada dasarnya apa yang terjadi di DPR saat ini, dengan terbentuknya pimpinan DPR tandingan, lakon politik itu sesungguhnya akan menghambat laju dan perkembangan demokrasi. Dalam perspektif Hukum Tata Negara, jelas tindakan demikian satupun tidak ada landasan hukum dapat melegitimasinya. Sepanjang DPR, kini tetap menjadikan parlemen sebagai arena “gonto-gontokan” politik, adu kekuatan yang tidak ada juntrungnya, sekali lagi ditegaskan bahwa benar-benar tindakan tersebut adalah inkonstitusional.

3.3     DAMPAK YANG DIHASILKAN DARI ADANYA DPR TANDINGAN

Dalam kehidupan didunia ini, memiliki rival akan membuat seseorang akan lebih menunjukan kualitasnya, karena jika tanpa rival maka akan cenderung straknal dan tak akan bisa berkembang. Namun ungkapan itu tidak cocok jika digunanakan dalam kehidupan politik tanah air. Terlebih terjadi rivalitas dan persaingan yang terjadi dalam perebutan kursi pemerintahan yang saat ini terjadi. Kita bisa melihat persaingan yang sangat dramatis antara KMP dan KIH sejak Pilpres hingga saat ini masih terjadi. Namun bukan rivalitas yang sehat yang terjadi, tapi perebutan kekuasaan mati matian dari segala lini saling diperebutkan. Final dari perebutan kekuasaan memicu lahirnya DPR tandingan yang bukan malah memperbaiki keadaan tapi justru akan memperlambat kinerja DPR dalam menjalankan kewajibannya.

Keberadaan DPR tandingan dinilai akan mengganggu kinerja DPR sekaligus berdampak negatif kepada rakyat. Pengamat hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf memberikan statmen jika pembentukan DPR tandingan sama sekali tidak memiliki aturan hukum. Adapun ancaman yang akan terjadi jika konflik ini terus terjadi antara lain:

  • Ada implikasi hukum akibat munculnya DPR tandingan. Dengan kata lain aka nada aturan yang dibuat tanpa mempertimbangkan beberapa factor dan cenderung mencari jalan pintas untuk menjegal Koalisi lain yang mengakibatkan kemunduran secara norma dari fungsi DPR yang sesungguhnya.
  • Mengganggu fungsi anggaran yaitu ketika pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
  • DPR tandingan juga mengganggu pembahasan Progam Legislasi Nasional (prolegnas) atau program pembuatan undang-undang yang terbengkalai karena mementingkan diri sendiri dan tidak menerima saran dari kelompok lain yang berbeda koalisi.
  • Dualisme DPR juga akan menghambat menteri-menteri yang ingin berkonsulitasi ke DPR. Kondisi itu berpotensi mengganggu konsentrasi para menteri dan berakhir dengan kinerja yang kurang maksimal selama konflik masih terjadi.
  • Penurunan kepercayaan rakyat kepada dewan rakyat yang seharusnya memikirkan nasip rakyat tetapi saat ini masih memperebutkan kekuasaan.

BAB IV PENUTUP

 4.1     KESIMPULAN

  1. Munculnya DPR tandingan bukan semata mata karena ingin menandingi peran dan fungsi DPR Asli, tetapi munculnya DPR tandingan muncul karena beberapa factor antara lain sebagai bentuk Protes kepada KMP selaku penguasa DPR karena tidak memberikan sedikitpun kursi kelengkapan DPR kepada KIH, selain itu juga sebagai bentuk kekecewaan terhadap KMP yang berusaha menjegal pemerintahan Jokowi JK 5 tahun kedepan.
  2. Mengenai dasar hokum yang menaungi eksistensi DPR tandingan sampai saat ini masih berstatus illegal / Inkonstitusional karena dalam aturan perundang undangan tidak pernah ada pasal yang menjelaskan adanya dualisme dalam satu badan. Hal ini diperkuat dengan perijinan yang tak kunjung dikeluarkan ketika DPR tandingan akan menggunakan gedung nusantara 2 untuk rapat DPR tandingan tetapi tidak mendapat perijinan karena tidak memiliki legitimasi
  3. Sedangkan dampak yang kemungkinan akan terjadi dengan adanya DPR tandingan antara lain Ada implikasi hukum akibat munculnya DPR tandingan atau ada aturan yang dibuat tanpa mempertimbangkan beberapa factor dan cenderung mencari jalan pintas untuk menjegal Koalisi lain, Mengganggu fungsi anggaran yaitu ketika pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengganggu fungsi Legislasi atau program pembuatan undang-undang, menghambat menteri-menteri yang ingin berkonsulitasi ke DPR dan juga akan berdampak pada taraf kepercayaan masyarakat kepada Dewan yang seharusnya memikirkan nasip rakyat.

4.2     SARAN

Sebagai kaum akademisi, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan yaitu kedua pihak segera mengakhiri konflik dengan cara melakukan komunikasi politik yang baik, karena semua ini hasil dari komunikasi politik yang tak baik sehingga berakhir pada saling menghancurkan satu sama lain, namun ketika kedua pihak bisa menjalin komunikasi yang baik kemunkinan besar perseteruan akan segera berakhir. Akan unik jika Prabowo dan jokowi telah bersama sama berjabat tangan untuk membangun bangsa tetapi para loyalis masih sibuk berseteru. alangkah baik dan eloknya, jika KIH dan KMP kembali ‘duduk bersama” dalam satu forum paripurna untuk  menyelesaikan masalah intenal mereka. Kenapa mereka tidak melakukan musyawarah mufakat dalam pembagian secara proporsionals segala alat kelengkapam DPR itu? Bukankah DPR sebagai wakil rakyat yang dipilih secara demokratis, saatnya menunjukan teladan untuk “dewasa’ dalam berdemokrasi? Semoga perselisihan segera berakhir dan DPR dapat menjalankan sebagaimana fungsinys demi kemajuan bumi pertiwi.

DAFTAR PUSTAKA

salam pembaca dan semoga bermanfaat, jangan lupa menyebutkan URL Web saya yaa. . . See you

Tinggalkan komentar